Oleh : Gaudensius Suhardi
PEMILIHAN rektor perguruan tinggi negeri seperti pilkada. Ada pembentukan tim sukses, mobilisasi dukungan, hingga aroma politik uang. Pemilihan rektor semakin jauh dari prinsip demokratis dan berkeadilan yang menjadi nyawa dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Isu politik uang dalam pemilihan rektor bukan kaleng-kaleng. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jauh-jauh hari sudah mengendus praktik lancung tersebut.
Laode Muhammad Syarif, Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, mengakui lembaganya banyak menerima laporan soal pemilihan rektor yang berpotensi menjadi kasus korupsi. “Perlu diklarifikasi lagi,” kata Syarif pada 15 Agustus 2019.
Menurut dia, potensi korupsi pemilihan rektor dapat terjadi di perguruan tinggi di bawah baik Kemendikbud-Ristek maupun Kementerian Agama.
Aroma korupsi pemilihan rektor kembali diungkit Ketua KPK Firli Bahuri pada 15 November 2022. Berdasarkan data pengaduan masyarakat yang diterima KPK, korupsi di lingkungan perguruan tinggi terdapat di sektor, antara lain, pemilihan rektor.
Dugaan korupsi dalam pemilihan rektor sepertinya melawan akal waras. Bukankah mereka yang terlibat dalam pemilihan rektor itu ialah kebanyakan bertitel profesor dan doktor?
Benar kata orang bijak bahwa akar dari segala kejahatan ialah cinta uang. Ironisnya, cinta uang tidak berkorelasi dengan pendidikan. Malah banyak orang dengan berderet-deret titel akademis terjerembap dalam lumpur korupsi. KPK mencatat 64 persen dari total pelaku korupsi selama 2004-2019 merupakan lulusan perguruan tinggi.
Ada yang mengusulkan rektor ditunjuk langsung oleh menteri sehingga terhindar dari praktik korupsi. Usul seperti itu ada baiknya. Kalau rektor itu tidak amanah, tidak pakai lama, menteri bisa setiap saat mencopotnya.
Gagasan rektor ditunjuk menteri mengkhianati fakta bahwa perguruan tinggi itu menjadi tempat persemaian demokrasi. Jauh lebih ideal bila menteri tidak terlibat sama sekali dalam pemilihan rektor sehingga demokrasi dalam kampus tetap terawat.
Keterlibatan menteri dalam pemilihan rektor universitas pemerintah masih menjadi perdebatan serius. Menteri agama, misalnya, mempunyai kewenangan memilih satu dari tiga calon yang diusulkan dari kampus di bawah naungan Kementerian Agama. Kewenangan itu diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 68 Tahun 2015.
Sementara itu, mendikbud-ristek berbagi suara dengan senat akademik sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendikbud-Ristek Nomor 24 Tahun 2010. Dalam aturan itu, menteri memiliki hak suara 35 persen untuk memilih rektor dan senat universitas memiliki hak suara 65%. Rektor terpilih yang ditetapkan menteri ialah peraih suara terbanyak.
Hak istimewa yang dimiliki menteri itu dituding sebagai biang kerok kekisruhan pemilihan rektor. Tudingan itulah yang dilancarkan Saiful Mujani terkait dengan pemilihan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Protes Saiful Mujani, staf pengajar UIN, dituangkan dalam satu utas di media sosialnya pada Jumat, 14 November 2022. “Prosedur pemilihan rektor di UIN atau di bawah Depag pada intinya tidak ditentukan oleh pihak UIN sendiri seperti oleh senat, melainkan oleh Menteri Agama seorang diri. Mau-maunya menteri aja milih siapa. UIN dan senat universitas tidak punya suara. Ini seperti lembaga jahiliah,” tulisnya.
Dirjen Pendidikan Islam M Ali Ramdhani dalam keterangan yang dimuat di website Kemenag.go.id pada Selasa, 15 November 2022, membela mekanisme pemilihan rektor yang menempatkan menteri agama di ujung proses, memilih satu dari tiga calon yang diusulkan.
Menurut Dhani, mekanisme pemilihan yang diatur PMA 68/2015 itu diharapkan dapat meminimalkan potensi politisasi dalam proses pemilihan rektor. Dalam beberapa tahun terakhir, kata dia, sering kali terjadi proses politisasi dalam pemilihan rektor. Bahkan, tidak jarang hal itu memunculkan lubang perpecahan. Padahal, kampus ialah lembaga akademik, bukan lembaga politik.
Saiful Mujani punya argumentasi untuk mematahkan alasan yang disodorkan Dhani. Kata Mujani, kalau pemilihan rektor oleh senat dinilai politis, apa pemilihan rektor oleh tim seleksi yang ditentukan Menag tidak politis? Apakah keputusan siapa yang dipilih jadi rektor oleh menag tidak politis? Semuanya pasti politis, baik oleh senat maupun menag.
Elok nian bila menteri agama dan mendikbud-ristek hanya mengambil peran sebagai pengawas dan penetap tata tertib pemilihan rektor, memastikan pemilihan rektor berlangsung secara transparan, akuntabel, dan demokratis, sedangkan proses pemilihannya dilakukan otonom di kampus. Hanya itu cara untuk menghindari jahiliah pemilihan rektor.
Sepanjang ada intervensi menteri, pemilihan rektor universitas negeri ibarat pilkada. Kepentingan politik dan politik uang berjumpa di ruangan pemilihan rektor. Jika itu dibiarkan, kampus kehilangan legitimasi untuk berbicara demokrasi.
Judul Asli : Jahiliah Pemilihan Rektor (msn.com) Gaudensius Suhardi